“Si Manis Dari Demak”

cover simanis

 

 

 

 

 

 

 

 

“Si Manis Dari Demak“ Cerita ini di balur dengan bentuk narasi sugestif, suatu narasi yang berusaha untuk memberikan maksud tertentu, menyampaikan suatu amanat terselubung kepada para pembaca atau pendengar sehingga tampak seolah olah melihat. Menurut Atar Semi (2003:31) sebuah narasi yang terdiri dari; bentuk cerita tentang kejadian atau pengalaman penulis, peristiwa yang disajikan dalam bentuk peristiwa yang sebenarnya terjadi, bisa imajinasi belaka atau kombinasi keduanya, konfiks berbasis, memiliki nilai estitika, dan menekankan susunan kronologis.

“Si Manis (Manis = Manusia Istimewa) Dari Demak” adalah penokohan dari seorang ibu guru yang bernama Nurul Eva Widyastatik, SE. salah satu dari guru guru hebat yang ada di SMAN-1 Danau Sembuluh. Keistimewaan  ibu Nurul Eva Widyastatik, SE, adalah mampu membentuk karakter peserta didik melalui “Kepramukaan” yang dibinanya. Berikut bagian dari beberapa cerita “Si Manis Dari Demak”

 

Persami

 

                 “Bapak ibu, dimohon hadir ya, besok pukul 06.30 kita laksanakan upacara pembukaan persami?. Mohon maaf undangannya melalui pesan WA?”. Bunyi cuitan bu Eva di WA group SMANSADASE. Setelah membaca pengumuman itu, aku pun beranjak menuju tempat tidur, karena malam sudah pukul sembilan. Cuaca malam saat itu agak dingin,  sesekali terlihat kilatan petir, yang menembus celah celah lobang angin di kamar tempatku beristirahat.

                 Terdengar juga suara berisik anjing peliharaanku, yang terus berjaga sepanjang malam. Mengais ngais tempat tinggalnya, yang sengaja ku buat dari beberapa potong kayu. Malam semakin larut. Desa Sembuluh hening di terpa kesunyian malam. Sesekali terdengar bunyi sepeda motor yang di pacu kencang. Membelah kesunyian malam itu. Menjelang subuh, pukul empat, aku terbangun dari tempat tidurku. Suara suara azan dari beberapa masjid dan mushola terdengar membahana waktu itu, memanggil para jemaahnya untuk datang shalat subuh.

                 Subuh itu turun hujan lebat, cuaca dingin terasa menembus dinding beton rumah dinas kami, aku mengambil laptop dan mengisi subuh itu menulis cerita si Manis Dari Demak. Sudah beberapa halaman berhasil ku tulis, namun karena belum selesai, tulisan itu tidak bisa ku ikut sertakan pada SAGUSABU 2018, aku sedikit kecewa tapi apalah daya, semua ada waktunya. Mungkin lain kesempatan buku yang kutulis bisa ikut bergabung di SAGUSABU, bersama Singa Putih Abu Abu, buku lainnya yang juga belum selesai ku tulis.

                 Diluar hujan masih turun dengan deras, aku pun teringat pesan dari bu Eva (Si Manis Dari Demak) kalau pagi ini ada upacara persami (perkemahan sabtu minggu). “Semoga saja hujannya cepat berhenti”. Gumamku dalam hati. Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, hujan semakin deras saja. Seperti memuntahkan semua isi perut awan hitam yang menyelimuti Desa Sembuluh. Ingin rasanya ku kembali berbaring di atas tempat tidur, menyelimuti diri dengan selimut. Tapi isi kepalaku seakan penuh dengan hayalan kata kata, jika tidak ku keluarkan semua ke sebuah kertas putih. Mungkin akan hilang berlalu.

                 Aku terus menulis, agar isi kepalaku tidak cepat hilang begitu saja. hujan mulai agak reda, tapi kadang deras lagi, kadang reda lagi. Seperti orang yang menyiram tanaman dengan slang, kadang deras kadang pelan. Ternyata itu karena di tiup oleh angin. Aku berhenti dari tulisannku. Lalu bersiap mandi. Waktu sudah pukul enam. Hujan meninggalkan sisanya. Cahaya sang surya tidak nampak pagi itu. awan mendung menutupi sinarnya. Akupun kemudian menuju sekolah. Tidak butuh waktu lama menuju tempat sekolahku, hanya berjarak dua puluh meter, akupun sudah menginjak halaman samping sekolahku itu.

                 Air bekas hujan masih bersimbah di rerumputan halaman sekolahku itu. dari kejauhan. Aku melihat beberapa anak anak berpakaian pramuka sudah berada di depan kelas mereka masing masing. Menunggu instruksi dari kaka sangganya. Aku berjalan menuju ruang guru. Namun kemudian akupun balik badan menuju kantin yang berada di samping ruang computer. Pagi itu ingin rasanya aku menikmati sepiring nasi sop.  Cuaca yang masih dingin. Terasa enak menikmati nasi sop yang masih hangat. Tidak perlu terlalu lama menikmati nasi sop itu. Akupun beranjak dan menuju ke ruang guru.  Di depan ruang guru. Sudah berdiri bu Eva dengan asbut Pembina pramuka yang di milikinya. “Bagaimana bu, jadi ya upacaranya?”. Kata ku. “Iya, jadi pa Sil, nunggu beberapa kawan lagi yang belum datang?”. Sahut bu Eva. Halaman depan ruang guru itu nampak tergenang oleh air hujan. Tidak beberapa lama datang seorang guru gagah, dengan tegap berjalan menuju ke arah ruang guru. Dengan kostum pramuka yang sama dengan lengkapnya dengan bu Eva. “Siap komandan!”. Kataku sembari menyalami sang guru itu. “Hahahahaha”. Guru itu hanya menyambut dengan tertawa khasnya.

 “Iya ini pak Sil, saya di minta oleh bu Eva, jadi Pembina?, padahal saya perlu belajar banyak dulu dari bu Eva, maklumlah masih junior?”. Sambungnya lagi. “Baguslah pak Dayat?”. Sahutku lagi. Hari sudah benar benar bersih dari gerimis. Nampak bu Eva sesekali memanggil para kaka sangga untuk segera mempersiapkan segala sesuatunya. “Lasri, bagaimana persiapannya, apa sudah siap?”. kata bu Eva. “Sudah bu?”. sahut Lasri. “Kalau begitu, ayo di perintahkan petugas yang lain untuk bersiap siap?”. kata bu Eva lagi.

Lasri kemudian berjalan ke arah  kaka sangga yang sedang bersiap siap dengan asbutnya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, lewat dari waktu yang ditetapkan oleh bu Eva. Namun pagi itu semua siswa sudah berada di  halaman untuk bersiap siap mengikuti upacara pembukaan persami. Ia kemudian menaiki sebuah tower bambu yang di buatnya bersama teman temannya, sebagai tempat untuk mengabadikan kegiatan persami hari itu. dari atas tower bambu setinggi enam meter itu, ia mengabadikan kegiatannya. Upacara itu berlangsung kurang lebih lima puluh menit.

Waktu terus bergulir dari menit ke jam, para peserta persami semuanya adalah peserta didik kelas X SMAN-1 Danau Sembuluh. Kegiatan tiap tahun yang di laksanakan oleh bu Eva, sebagai pembina pramuka. Selama satu tahun pelajaran, para peserta didik pramuka kelas X, wajib mengikuti persami, sebagai bagian sakral dari kegiatan pramuka yang dilaksanakan satu kali selama satu tahun. Karena di tahun ajaran berikutnya, beberapa orang dari mereka. Yang bermotivasi tinggi dalam kepramukaan. Akan menjadi kaka sangga untuk peserta didik baru lagi.

Dari bawah pohon akasia, bu Eva mengawasi para peserta pramuka yang sedang mendirikan tendanya masing masing. Tenda yang mereka dirikan sederhana saja. dari sebuah terpal dengan warna yang berbeda beda dan ukuran yang beda juga. Nampak para kaka sangga, hilir mudik memberikan motivasi, kepada para peserta pramuka itu. Untuk tetap semangat mendirikan tendanya. “Bagaimana ini ka?, kami tidak bisa mengikatnya?”. Kata peserta persami yang terlihat terdiri dari beberapa wanita. “Ayo dik?, kalian bisa, jangan menyerah?”. Kata Haidir satu dari kaka sangga lainnya. Mereka terus berusaha mendirikan tendanya, yang kadang kadang ambruk karena ikatannya kurang kuat.

Di beberapa tempat lain, nampak tenda tenda sudah berdiri dengan kuat, mereka sangat menikmati acara persami. Walaupun penuh dengan keringat. Mereka tetap kompak. Walau sesekali ada beberapa dari mereka cemberut, karena di kerjain oleh teman dari kelompok lainnya. Karena tenda yang mereka buat selalu jatuh bangun. “Makanya, kalau kerja itu yang benar, masa ngikat itu aja nggak bisa?”. Kata kelompok lainnya nyindir. “Huh?, kalian enak, laki laki semua, kami semua perempuan?”. Kata kelompok lain yang merasa di buly. “Kita lihat saja nanti, apa kalian semua, para laki laki bisa masak, tanpa perempuan?”. Kata mereka lagi. “Eeeet, jangan di kira kami tidak bisa masak, tuh lihat nggak? Satu dari kami ada yang bisa masak? malah masakannya? dari baunya aja enaaaakkk?”. Kata kelompok laki laki itu. “Ah, bau apanya yang enak, ini bau nasi hangus?”. Sahut kelompok perempuan itu. “Hah!!, ini bau nasi hangus ya?, kok sedap begitu baunya?”. Kata salah seorang dari tenda para laki laki itu.

“Hahahahahahahaha!, makanya, jangan mengolok kami dong?, masak nasi saja nggak bisa? Hahahahahaha?”. Kata kelompok perempuan itu.

Sementara itu dalam kemah yang dihuni para pelajar laki laki itu. “Eh brur? Kamu itu bisa masak nasi nggak sih?, kok tadi dibilang mereka, nasi kita hangus?”. Kata Lugi. “Waduh brur?, saya tadi ketiduran?, soalnya saya capek sekali dirikan tenda? Kamu enak enak saja genjrang genjreng main gitar?”. Sahut Jainudi Husein. “Lho, saya juga cape brur?, kan saya menghibur kamu juga? supaya kamu semangat dirikan tenda kita?”. ujar Lugi.

“Menghibur sih? menghibur brur? Tapi teman di bantu juga dong?”. Kata Junaidi lagi.

“Tapi kalau saya bantu kamu, nanti susah saya menghibur kamu, Jun?”

“Ah, itu cuma akalan kamu aja Lugi?”.

“Bukan begitu Jun?, coba kamu bayangkan, kalau saya nyanyi sambil megang tali tenda,? kan nggak ada musiknya?, makanya saya megang gitar?”.

“Alah?, bisanya kamu saja Lugi?, bilang saja nggak mau bantu? Ntar nanti kamu saya laporkan sama bu Eva?”.

“Hah?. Jangan Jun?. saya takut sama bu Eva, ibunya galak sih?”

“Kalau kamu takut saya laporkan, sebaiknya kamu bantu saya ok?”. Kata Junaidi Husen dengan nada ketus. “Siap? komandan?, eh? Ngomong ngomong, nasi kita gimana nih?, udah hangus?”. Kata Lugi.

“Tenang saja, yang hangus cuma bagian dasarnya aja, di atasnya masih bisa kita makan juga Lugi?”

“Tapi? Tetap aja hangus itu Jun?”.

“Alahhh, jadi anak pramuka aja, kamu ini cengeng amat sih?, kamu nggak dengar kata bu Eva tadi sebelum upacara, itu si Risky, belum apa apa sudah duduk di bangku santai, nggak sanggup ikut upacara?”. Kata Junaidi mengingatkan temannya itu. “Benar juga kamu Jun?, kita sebagai anak pramuka jangan cengeng ya?. Wah? Salut saya sama kamu Jun?”. Kata Lugi sembari mengusap usap telapak tangannya di pundak Junaidi yang lagi duduk sambil mengambil nasi dari panci.

“Eh Lugi, kalau membersihkan tangan, jangan ke baju aku dong?, saya tahu, kamu itu membersihkan telapak tangan kamu ke baju aku?”

“Waduh, sorry teman? Saya khilaf. Saya pikir kamu nggak tahu Jun?”.

“Siapa sih yang nggak kenal kamu Lugi?, orang paling lihai dan cerdik?”. Kata Junaidi seraya beranjak dari tempat duduknya. Sementara itu di kemah para peserta perempuan nampak mereka sedang duduk kelelahan. “Waduh, cape sekali saya nih?”. Kata Tyas. “Saya juga lelah sekali? Rasanya mau pingsan nih?”. Ujar Risma. “Yah, beginilah nasib kita, kalau urusan mendirikan tenda, pasti lama selesainya? Mana harinya agak panas?”. Kata Handini.

“Eh, Din? Kita masak apa nih?”

“Kayaknya kita masak mie rebus aja deh Tyas?”.

“Soalnya, kalau kita masak nasi? Ntar matangnya lama Tyas?, mana perut sudah keroncongan nih?”.

“Oke Din?. Saya masak air dulu, kayu bakar kita ada nggak?”.

“Lho, kenapa pakai kayu bakar, ntar pancinya hitam?. Itu ada kompor gas mini yang di bawa Risma?”.

“Oh iya?, saya lupa Din?”. Kata Tyas sambil beranjak mengambil kompor gas mini yang mereka bawa.

Sementara itu, nampak kaka sangga, yang di pimpin Haidir, sedang patroli ke tiap kemah para peserta persami itu. Hampir semua tenda sudah terpasang di halaman sekolah. Beberapa peserta sudah sibuk dengan persiapan menu siangnya saat itu. sementara bu Eva, dari depan ruang guru nampak mengamati semua peserta dan kaka sangga. Ada optimis dalam raut wajahnya, bahwa kegiatan persami ini berjalan dengan lancar. Apalagi dukungan dewan guru untuk mengawal acara persami hingga esok hari, nampak antusias.

Awan di langit sesekali menaungi terik matahari, namun cuaca  sedikit agak gerah. Hingga beberapa peserta laki laki yang berada dalam tenda, nampak kepanasan dan keluar dari kemah, menuju pohon akasia, dan berteduh di bawahnya, sambil sesekali berdendang dengan gitar kesayangannya. “Lugi, mainkan sebuah lagu untuk kita dong?”. Kata Andi Yawan. “Mau minta lagu apa brur?”. Kata Lugi. “Terserah aja brur, yang penting kita bisa happy?”. Sahut Andi Yawan. “Hey kawan, kawan, ini sebuah lagu untuk kalian semua?, lagu yang sangat terkenal dari jaman dulu hingga sekarang?”. Sahutnya lagi. Semua teman temannya yang lagi santai nampak bertepuk tangan. “Mantap brur?”. Sahut beberapa temannya.

Lugi pun mulai memainkan gitarnya, nadanya agak nyentrik dan terdengar nuansa dangdut. Beberapa saat kemudian terdengar syair lagu dari mulutnya itu. “Bintang kecil, dilangit yang biru, amat banyak menghias angkasa…..?”. belum selesai lagu yang di nyanyikan Lugi. Teman temannya sontak menjadi geregetan dengan lagu yang dinyanyikannya itu. “Huuuuuuuuuuuuu?. Sialan kamu Lugi?, music awalnya bagus, dangdut?, eh ternyata lagu bintang kecil?”. Kata Andi Yawan protes.

“Lho, tadi saya bilangkan, lagunya terkenal dari zaman dulu hingga sekarang?”.

“Tapi bukan itu juga Lugi?, itu sih lagu taman kanak kanak? Emangnya kami ini anak anak TK ya?”.

“Hahahahahaha? ya persis? Kan kalian semua pada duduk duduk, seperti anak TK tuh?”.

“Sialan kamu Lugi?, sini biar aku saja yang nyanyi?”. Kata Andi Yawan. Sambil mengambil gitar yang dipegang oleh Lugi. “Kamu dengar nih, sang maestro nyanyi?”. kata Andi Yawan. Belum sempat Andi Yawan menyanyi, Mendadak ia di tegur oleh temannya. “Ssssst, andi, itu bu Eva berjalan ke arah kita?”. kata Bima Sakti. Buru buru Andi Yawan duduk dekat teman temannya. “Ada apa ini, semua pada santai disini?”. Kata bu Eva yang sudah berada di hadapan mereka. “Siap ka? Kami lagi santai ka?”. Kata Lugi yang berdiri dengan sikap siap. “Apa yel yel kalian sudah siap belum?”. Kata bu Eva lagi. “Siap ka? Belum siap ka?”. Kata Lugi. “Lho, kok belum siap?. terus kerjaan kalian apa saja?”. kata bu Eva dengan nada tinggi.

Nampak para peserta itu saling pandang, mencari jawaban yang tepat. “Lapor ka?, yel yelnya segera kami selesaikan ka?”. Kata Bima Sakti. “Cepat selesaikan itu? jangan malas?. Kalau tidak siap nanti kalian dapat sanksi?”. Kata bu Eva. Kemudian beranjak dari tempat itu. Menuju ke tenda tenda lainnya. “Waduh, kena marah deh kelompok kita kawan?”. Kata Lugi sambil menggaruk kepalanya. “Kamu sih Lugi?, katanya seniman, kok nggak bisa ngarang yel yel?”. Kata Andi Yawan.

“Bukannya nggak bisa Andi?, saya belum dapat ilham?”.

“Alahhh?, ngapain cari ilham?, nggak ada bakal ketemu kamu Lugi?”.

“Lha ini, type orang yang nggak paham?, bukan ilham nama sesorang? Tapi ilham itu semacam petunjuk gitu loh?”. Kata Lugi.

“Ah? Sudahlah,. Repot kalau berbicara dengan kamu ini? banyak bahasa yang susah saya pahami?”. Kata Andi Yawan lagi. “Gimana kalau kita minta Junaidi saja?”. Kata Bima Sakti. “Jangan brur? Kalau Junaidi itu urusan gerakannya saja?”. Kata Andi Yawan. “Eh, kawan kawan? Itu bu Eva. Pandangannya ke arah kita terus?, jangan jangan nanti ke sini lagi marahin kita?. ayo cepat selesaikan tugas kita brur?”. Kata Bima Sakti. Merekapun nampak serius menyelesaikan tugas kelompoknya itu. Sambil sesekali memandang ke arah bu Eva yang selalu mengawasi mereka dari jauh.

Sementara itu, bu Eva sedang berbicara dengan beberapa kaka sangga lainnya. “Ini beberapa acara yang kita berikan kepada peserta persami?, kalian pelajari dulu? Jika ada yang kurang paham, kalian bertanya saja kepada saya?”. kata bu Eva sembari menyerahkan beberapa kertas yang berisi susunan kegiatan yang akan dilaksanakan pada persami itu.

 

to be countined..

Check Also

NILAI LUHUR KEPRAMUKAAN

Silpanus, Danau Sembuluh 09 Maret 2024   Peserta didik adalah salah satu bagian penting dalam …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *